Dana CSR Musi Rawas Dipertanyakan, DPRD Bongkar Kelemahan Aturan dan Dugaan Penyimpangan


Musi Rawas – Karya Investigasi
Pertanyaan besar mengenai ke mana arah dana Corporate Social Responsibility (CSR) di Kabupaten Musi Rawas terus menguat. Dana yang seharusnya diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat ternyata masih jauh dari harapan. Investigasi Karya Investigasi menemukan bahwa mayoritas warga di sekitar kawasan operasional perusahaan belum merasakan dampak nyata dari program CSR, meski setiap tahun perusahaan diwajibkan menyisihkan sebagian keuntungan mereka untuk tanggung jawab sosial.

Di beberapa desa, warga mengaku program CSR yang mereka terima hanya berupa pembagian sembako saat perayaan hari besar atau kegiatan seremonial sesaat. Sementara kebutuhan mendasar seperti pembangunan jalan desa yang rusak, peningkatan sarana pendidikan, penyediaan air bersih, hingga perbaikan fasilitas kesehatan belum tersentuh. Tokoh masyarakat di wilayah Muara Kelingi bahkan menyebut bahwa CSR sering kali “hanya datang ketika ada kamera dan media”, bukan untuk menyelesaikan persoalan riil yang dihadapi rakyat.

Kondisi tersebut sejalan dengan kritik DPRD Musi Rawas yang menegaskan bahwa selama ini CSR dikelola tanpa transparansi dan tanpa pengawasan yang jelas. Forum CSR yang digelar oleh pemerintah daerah dan perusahaan sama sekali tidak melibatkan DPRD. Padahal, DPRD secara konstitusional memiliki fungsi pengawasan dan representasi rakyat. Akibatnya, dana CSR berjalan di ruang abu-abu, sulit dilacak, dan berpotensi besar dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak.

Akar masalahnya, menurut DPRD, ada pada kelemahan regulasi yang berlaku. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan dinilai rapuh dan tidak memadai. Regulasi ini tidak mengatur dengan tegas besaran nominal CSR yang wajib disalurkan perusahaan, tidak menetapkan mekanisme distribusi yang transparan, serta tidak menyediakan instrumen evaluasi yang terukur. Sanksi yang ada pun bersifat administratif ringan, tidak memberi efek jera pada perusahaan yang abai terhadap kewajiban CSR.

Pasal 7, 14, dan 15 dalam perda tersebut menjadi sorotan utama. Pasal 7 sama sekali tidak mengatur berapa nilai minimal CSR atau bagaimana alokasi anggarannya, sementara Pasal 14 dan 15 gagal memberi ruang pengawasan legislatif maupun masyarakat sipil. Celah hukum ini membuat perusahaan memiliki keleluasaan penuh untuk menyalurkan CSR sesuai keinginan mereka, tanpa ikatan terhadap rencana pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJMD. DPRD menilai kondisi ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak makna CSR itu sendiri yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan keadilan sosial.

Melihat fakta tersebut, DPRD Musi Rawas kini mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif untuk merevisi Perda Nomor 1 Tahun 2019. Langkah ini juga melibatkan Kejaksaan Negeri Musi Rawas guna memastikan revisi perda memiliki legitimasi hukum yang kuat dan selaras dengan regulasi nasional. Ketua Fraksi DPRD menegaskan bahwa revisi perda bukan hanya formalitas, melainkan upaya strategis agar dana CSR bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. “CSR tidak boleh lagi sebatas jargon atau acara seremonial. Harus ada kepastian hukum, mekanisme pengawasan, dan sanksi tegas bagi perusahaan yang tidak patuh,” ujarnya.

DPRD juga mendorong agar revisi perda ini menempatkan DPRD sebagai bagian dari forum CSR, sehingga fungsi pengawasan dapat berjalan optimal. Selain itu, dana CSR diharapkan wajib disinergikan dengan RPJMD Kabupaten Musi Rawas agar program pembangunan berjalan selaras. Dengan begitu, CSR tidak lagi berjalan sendiri, tetapi menjadi bagian integral dari strategi pembangunan daerah.

Di sisi lain, masyarakat sipil juga mulai menaruh perhatian serius terhadap isu ini. Sejumlah LSM lokal menyoroti praktik CSR yang hanya menjadi formalitas perusahaan. Mereka menilai tanpa keterbukaan data dan partisipasi masyarakat, CSR hanya akan menjadi alat pencitraan perusahaan, bukan kewajiban sosial. “Selama laporan dana CSR tidak dibuka secara publik, selama itu pula masyarakat tidak akan tahu berapa banyak uang yang semestinya mereka nikmati. Transparansi adalah pintu pertama, tanpa itu semua program hanyalah topeng,” tegas seorang aktivis lokal.

Karya Investigasi menilai bahwa persoalan CSR di Musi Rawas adalah potret masalah nasional. Di banyak daerah lain, dana CSR sering kali menjadi ruang kompromi antara perusahaan dan pemerintah daerah, sementara masyarakat hanya menjadi penonton. Tanpa pengawasan ketat, CSR berpotensi diselewengkan atau dialihkan ke kegiatan yang tidak relevan dengan kebutuhan rakyat.

Revisi perda yang kini tengah digagas DPRD Musi Rawas bisa menjadi momentum penting untuk memperbaiki sistem yang selama ini lemah. Namun, tantangan terbesarnya adalah konsistensi dalam implementasi. Regulasi yang kuat tidak akan berarti apa-apa bila aparat penegak hukum dan lembaga pengawas tidak berani menindak pelanggaran.

Isu CSR di Musi Rawas bukan sekadar soal teknis administrasi, melainkan menyangkut hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari keberadaan perusahaan di tanah mereka. Setiap rupiah dana CSR semestinya kembali kepada masyarakat dalam bentuk nyata, bukan hilang di balik meja rapat atau laporan seremonial. Karena itu, Karya Investigasi akan terus mengawal isu ini, menelusuri alokasi dana CSR dari perusahaan-perusahaan besar, dan memastikan bahwa aspirasi masyarakat benar-benar terwujud dalam kebijakan daerah.

Red. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama